Cari

Minggu, 30 Januari 2011

SEJARAH SINGKAT FKIP UNIVERSITAS HALUOLEO


Universitas Haluoleo (Unhalu) didirikan sebagai Universitas Negeri Haluoleo berdasarkan surat Keputusan Presiden RI. No. 37 Tahun 1981 tanggal 14 Agustus 1981, diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang diwakili oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Prof. Dr. Dody Tisna Amidjaja. Di dalam Kepres tersebut ditetapkan 4 (empat) Fakultas sebagai unit pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi: (1) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, (2) Fakultas Ekonomi, (3) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, (4) Fakultas Pertanian.
Bersamaan pendirian Universitas Haluoleo Sebagai Perguruan Tinggi Negeri maka melalui Surat Keputusan Presiden RI. No. 147/M/ Tahun 1981, tanggal 1 Agustus 1981 ditetapkan Eddi Agussalim Mokodompit, M.A., sebagai Rektor Pertama, beliau menjabat hingga tahun 1990 selama dua periode.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI. No. 48/M/1990 tanggal 2 Maret 1990 ditetapkan Dr. Ir. Soleh Solahudin, M.Sc., sebagai Rektor Universitas Haluoleo yang kedua hingga tahun 1996, beliau menjabat selama dua periode pula. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI. No. 218/M/1996 tanggal 3 September 1996 ditetapkan Prof. Dr. Abdurrauf Tarimana sebagai Rektor Universitas Haluoleo periode 1996-2000 (sebagai rektor ketiga) selama berdirinya Universitas Haluoleo sebagai Universitas Negeri. Sejak 2 Juni 2000 s.d 2004, Rektor Universitas Haluoleo dijabat Prof. Dr. Ir. H. Mahmud Hamundu, M.Sc., yang diangkat berdasarkan Kepres No. 131/M/2000 tanggal 24 Maret 2000.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Haluoleo pada awal berdirinya memiliki dua jurusan yaitu:
1.      Jurusan Pendidikan Sosial
2.      Jurusan Pendidikan Matematika
Kedua jurusan tersebut memiliki kurikulum hanya sampai pada tingkat sarjana muda, sedang mahasisawa pertama (angkatan 1980) berasal dari mahasiswa semester III FKIP Universitas Haluoleo Swasta (Unhol) yang telah lulus ujian seleksi yang diadakan oleh panitia pendiri Universitas Haluoleo Negeri. Oleh karena kedua jurusan tersebut hanya sampai sarjana muda, maka universitas haluoleo mengambil kebijakan bahwa kedua jurusan tersebut diarahkan program S1 (program sarjana).
Pada tahun 1986 keluar Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 39/DIKTI/KEP/1986 tanggal 21 Agustus 1986 tentang penetapan jenis dan jumlah program studi pada setiap jurusan dalam lingkup FKIP. Jenis program studi (S1) adalah sebagai berikut:
1.      Jurusan Ilmu Pendidikan Program Studi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.
2.      Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
a.      Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
b.      Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris
3.      Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
a.      Program Studi Pendidikan Matematika
b.      Program Studi Pendidikan Biologi
4.      Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMP dan KN).
Pada tahun 1989 keluar Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) No. 39/DIKTI/1986 tanggal 13 September 1986 tentang pembentukan Program studi dalam lingkungan jurusan Pendidikan IPS, yakni:
a.      Program Studi Pendidikan Koperasi
b.      Program Studi Pendidikan Sejarah
c.       Program Studi Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Koperasi Akuntansi
Pada tahun 1989 keluar Surat Keputusan DIKTI No. 36/DIKTI/1989 tanggal 27 maret 1989 No. 37/DIKTI/KEP/1989 tanggal 27 maret 1986 tentang pembentukan masing-masing:
a.      Program studi pendidikan fisika
b.      Program Studi Pendidikan Kimia
Lembaga program S1 (program sarjana) ditugaskan pula mengelola program S0 (program diploma) yaitu:
1.      Pada tahun 1982/1983 dibuka program studi:
a.      D1 Matematika
b.      D1 PMP dan KN
c.       D1 IPA
d.     D3 Biologi
2.      Pada tahun 1983/1984 dibuka program studi:
a.      D2 IPA
b.      D2 Bahasa Inggris
Penatapan Prodi tersebut sesuai sutar Keputusan DIKTI No. 41/DIKTI/KEP/1983 tanggal 18 Mei 1983. Pada tahun 1984, prodi D1 dan D2 IPA serta D3 Biologi menerima Mahasiswa baru.
3.      Pada tahun 1984/1985 dibuka prodi
a.      D2 Matematika
b.      D2 PMP dan KN
c.       D2 Bahasa Inggris (ditetapkan kembali)
d.     D3 bahasa Inggris
e.      D3 Biologi
4.      Pada tahu 1985/1986 dibuka prodi diploma dua dan tiga kependidikan (D2/D3) sampai dengan tahun akademik 1988/1989 sbb:
a.      D2 Matematika
b.      D2 PMp dan KN
c.       D2 Bahasa Indonesia
d.     D2 Bahasa Inggris
e.      D3 Bahasa Inggris
f.        D3 Biologi
5.      Pada tahun 1990 semua program diploma dua (D2) ditiadakan, sehingga prodi yang ada (berdasarkan petunjuk ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri tahun 1990) adalah sbb:
a.      D3 Matematika
b.      D3 Biologi
c.       D3 PMP dan KN
d.     D3 Bahasa Inggris
e.      D3 Bahasa dan sastra Indonesia
6.      Pada tahun 1991, prodi D3 biologi diphasing-outkan (berdasarkan petunjuk pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi negeri tahun 1991).
7.      Pada tahun 1991, melalui petunjuk pendaftaran masuk perguruan tinggi negeri tahun 1991, pendidikan Guru sekolah dasar (D2 PGSD) dibuka dengan program prajabatan dan tatap muka.
8.      Pada tahun 1992, program D3 pada nomor 5 diatas diphasing-outkan.
9.      Tahun 1992, melalui petunjuk masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) tahun1992, program studi Olahraga Kesehatan Dan Rekreasi dubuka.
10.  PGSM dimulai tahun 1997 pada jurusan pendidikna MIPA (prodi: Matematika, Fisika, Biologi, Kimia), jurusan Pendidikan Bahasa dan seni (prodi: Bahasa dan Sastra Indonesia, bahasa Inggris)
11.  Tahun 1998, dibuka pendaftaran D3 untuk jurusan pendidikan IPS dengan Prodi: PPKn, Pendidikan sejarah, Pendidikan ekonomi koperasi
12.  Program Integrasi (PMPWB) tahun 1995 dengan jumlah mahasiswa 118 mahasisawa. Tahun 1996 jumlah 75 mahasiswa. Tahun 1996 juga dibuka PGSD Transmigrasi.
13.  Tahun 1999 dibuka prodi Kualifikasi Guru-guru SLTP se Sultra atas kerjasama dengan Depdiknas dengan 10 prodi yaitu:
a.      Prodi Pendidikan Matematika
b.      Prodi Pendidikan fisika
c.       Prodi Pendidikan Biologi
d.     Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
e.      Prodi Pendidikan Bahasa Inggris
f.        Prodi Pendidikan Sejarah
g.      Prodi Pendidikan Ekonomi Koperasi
h.      Prodi Pendidikan PPKN
i.        Prodi Pendidikan Olahraga Kesehatan dan Rekreasi
j.        Prodi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Mahasiswa yang terdaftar adalah mahasiswa yang mempunyai ijazah diploma satu (D1), diploma dua (D2), diploma tiga (D3).
14.  Tahun 1999 dibuka program beasiswa (ADB) SLTA Ke S1 untuk persiapan guru-guru SLTP dari daerah terpencil se-Sultra atas kerjasama dengan Depdinas dengan4 prodi, yaitu: (1) Pendidikan Matematika, (2) Pendidikan Fisika, (3) pendidikan Biologi, dan (4) Pendidikan Bahasa Inggris.
15.  Program Kualifikasi kerjasama dengan Departemen Agama dimulai tahun 2001 dengan Prodi: Pendidikan Matematika, Pendidikan Bahasa inggris dan pendidikan bahasa dan sastra indonesia.
16.  Program pasca sarjana (S2) dimulai tahun 2001 kerjasama dengan Universitas Negeri Makassar (UNM), terdiri atas: (1) Program Pendidikan Bahasa dan (2) Program Manajemen Pendidikan.

Metode Sejarah Menurut Nugroho Notosusanto

Perlu disini saya perkenalkan tentang metode sejarah, karena merupakan alat yang digunakan oleh sejarawan untuk menyusun sejarah. Karena banyak yang menganggap remeh dan menganggap mudah menulis sejarah. Tentunya bagi mereka yang disebut dengan Sejarawan “Amatiran” yaitu seorang yang mengetahui dan menulis sebuah kisah sejarah tetapi tidak dengan bekal pengetahuan dasar mengenai Ilmu Sejarah itu sendiri sehingga karya tulisannya lebih mengarah kepada cerita narasi dan tidak didukung oleh fakta-fakta sejarah, bahkan yang lebih ekstrim lagi saya katakan sebagai sebuah Dongeng/Legenda sehingga pembaca tidak tertarik/bosan membacanya.
Adapula yang dikatakan sebagai “peminat sejarah”, peminat sejarah yaitu seseorang yang memiliki disiplin ilmu lain (bukan ilmu sejarah) misalnya ilmu-ilmu sosial, tetapi mereka menulis juga sejarah. Tentunya akan berbeda hasil karya sejarahnya, karena metodologi yang digunakannya bukan metodologi sejarah melainkan metode-metode ilmu sosial.
Ada dua definisi yang di ajukan oleh Nugroho Notosusanto yang dua-duanya sama kuatnya. Satunya menyatakan bahwa metode sejarah adalah sekumpulan prinsip atau aturan. Yang kedua metode sejarah ialah suatu proses. Jadi agak berlainan: yang satu prinsip-prinsip, yang lain proses. Tetapi sesungguhnya, masing-masing bisa dianggap dua-duanya.
Definisi pertama ialah:
“Historical method is a systematic body of principles and rules designed to aid effectively in gathering the source-materials of history, appraising them critically, and presenting a synthesis (generally in written form) of the result achieved”
”Metode sejarah ialah sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sistese daripada hasil-hasilnya (biasanya dalam bentuk tertulis).”
Definisi yang lain ialah:
“The process of critically examining and analysing the records and survivals of the past is here called historical method.”
Disini prosesnya yang ditekankan, tetapi isinya sama. Jadi metode sejarah adalah sarana sejarawan untuk melaksanakan penelitian dan penulisan sejarah.
Proses metode sejarah ada 4 tahapnya. Pertama ialah heuristik. Heuristik ini dari bahasa Yunani heuriskein artinya: to find. To find berarti tidak hanya “menemukan”, tetapi “mencari dahulu baru menemukan”. Kalau dalam bahasa indonesia, menemukan itu hanyalah: “Nah ini saya menemukan”. Tetapi kalau to find artinya ialah: mencari dahulu baru menemukan; itulah artinya heuriskein. Heuristik ialah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber.
Setelah sumber-sumber ketemu, maka sumber-sumber itu diuji dengan kritik. Kritik ini ada dua macam, kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern ini menyangkut dokumen-dokumennya. Kalau ada dokumen, misalnya, kita teliti apakah dokumen itu memang yang kita kehendaki atau tidak, apakah palsu atau sejati, apakah utuh ataukah sudah diubah sebagian-sebagian. Ini kritik ekstern. Kalau kita sudah puas mengenai suatu dokumen, artinya kita sudah yakin bahwa memang dokumen itulah yang kita kehendaki, baru kita menilai isinya, dan menilai isinya ini dilakukan dengan kritik intetrn.
Tujuan kritik seluruhnya ialah untuk menyeleksi data menjadi fakta. Di kalangan masyarakat luas, biasanya datadan fakta dicampur-adukan. Tetapi sesungguhnya ada bedaya. Data ialah semua bahan fakta ialah bahan yang sudah lulus diuji dengan kritik. Itu baru fakta. Jadi fakta itu sudah terkoreksi. Setelah kita memperoleh sejumlah fakta yang cukup, maka kita harus melakukan usaha merangkaikan fakta-fakta itu menjadi sesuatu keseluruhan yang masuk akal.
Ini dilakukan dalam tahap ketiga metode sejarah, yaitu tahap interpretasi, tahap penafsiran. Setelah penafsirannya maka kita kemudian sampai pada tahap akhir, yaitu historiografi yaitu penulisan sejarah (berasal dari graphein dalam bahasa Yunani). Tujuan kegiatan di sini ialah untuk merangkaikan kata-kata menjadi kisah sejarah. Sebab bagaimanapun sejarah itu merupakan suatu kisah yang kita baca. Sehingga bahan-bahan mentah itu belum merupakan suatu sejarah, belum merupakan suatu kisah sejarah.
Sumber:
Nugroho Notosusanto. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (suatu pengalaman). Jakarta: Yayasan Idayu. Hlm. 10-12.

Metode Sejarah Menurut Helius Sjamsuddin

Menurut Helius Sjamsuddin (Metodologi Sejarah, 2007) metode sejarah terdiri dari tahap Heuristik: Pengumpulan Sumber, Kritik: Ekstern & Intern, dan Penulisan Sejarah: Historiografi, Penafsiran, Penjelasan, Penyajian.

1. Heuristik: pengumpulan sumber
Sebagai langkah awal dalam penelitian sejarah ialah apa yang disebut heuristik (heuristics) atau dalam bahasa Jerman Quellenkunde, sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data, atau materi sejarah, atau evidensi sejarah (Carrard, 1992; Cf. Gee, 1950). Ada beberapa persyaratan dasar sebelum melakukan penelitian dan penulisan sejarah, khususnya kegiatan pengumpulan sumber-sumber sejarah, ada beberapa catatan penting yang menjadi modal untuk menjadi sejarawan profesional.
A. Beberapa persyaratan dasar
- Sejarawan “ideal” harus memiliki dan mengikuti rambu-rambu sbb:
a. Kemampuan praktis dalam mengartikulasi dan mengekspresikan secara menarik pengetahuannya baik secara tertulis maupun lisan (sejarah erat dengan retorika).
b. Kecakapan membaca dan/atau berbicara dalam satu atau dua bahasa asing dan daerah. Kemampuan ini diperlukan pada waktu melalukakan penelitian sumber yang menggunakan bahasa-bahasa asing tertentu.
c. Menguasai satu atau lebih disiplin kedua, terutama ilmu-ilmu sosial lain seperti antropologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi atau ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora).
d. Kelangkapan dalam penggunaan pemahaman (insights) psikologi, kemampuan imajinasi dan empati.
e. Kemampuan membedakan antara profesi sejarah dan sekedar hobi antikuarian yaitu pengumpul benda antik saja.
- Enam langkah penelitian
a. Memilih topik yang sesuai
b. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik
c. Membuat catatan tentang apa saja yag dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung (misalnya dengan menggunakan fotokopi, komputer, internet menjadi lebih mudah)
d. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik sumber)
e. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) kedalam suatu pola yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya
f. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikan kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin (Wood Gray, et.al., 1956)
(butir a, b, dan c termasuk langkah-langkah Heuristik; butir d termasuk langkah kritik eksternal dan intetrnal; butur e dan f termasuk bahasan mengenai Historiografi).
- Memilih topik
Dalam memilih suatu topik untuk penelitian, maka perlu diperhatikan empat kriteria berikut (Gray, 1956).
a. Nilai (value). Topik itu harus sanggup memberikan penjelasan atas suatu yang berarti dan dalam arti suatu yang universal, aspek dari pengalaman manusia.
b. Keaslian (originality). Jika subjek yang dipilih telah dikaji dalam penelitian yang lebih dahulu, anda harus yakin bahwa anda dapat menampilkan salah satu atau kedua-duanya:
1. Evidensi baru yang sangat substansial dan signifikan, ata suatu
2. Interpretasi baru dari evidensi yang valid dan dapat ditunjukkan.
c. Kepraktisan (practicality). Penelitian ini harus dapat dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal sbb:
1. Keberadaan sumber-sumber yang dapat diperoleh tanpa adanya kesulitan yang tidak rasional. Juga ada jaminan bahwa anda dapat menggunakan sumber-sumber tersebut tampa pemilik atau penyimpan sumber-sumber itu mencoba mensensor kesimpulan-kesimpulan yang anda buat.
2. Kemampuan untuk menggunakan dengan benar sumber-sumber itu berdasarkan atas latar belakang atau pendidikan anda sebelumnya, termasuk bahasa asing dan syarat-syarat teknis tertentu lainnya.
3. Ruang cukup penelitian. Ruang lingkup topik yag dipilih harus sesuai dengan medium yang dipresentasikan, mislanya apakah itu untuk makalah kelas, laporan seminar, artikel, tesis, disertasi, atau buku.
d. Kesatuan (unity). Setiap penelitian harus mempunyai suatu kesatuan tema, atau diarahkan kepada suatu pernyataan atau proposisi yang bulat, yang akan memberikan peneliti suatu titik bertolak, sutau arah maju ke tujuan tertentu, serta suatu harapan atau janji yang akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang khusus.
B. Sumber sejarah
- Klasifikasi sumber
Untuk kepentingan praktis sumber-sumber dapat dibagi secara garis besar atas peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan (records)
1. peninggalan-peninggalan (relics atau remains) – (pelantar fakta yang tidak direncanakan)
a. peninggalan-peninggalan manusia, surat, sastra, dokumen-dokumen, catatan bisnis, dan sejumlah inskripsi tertentu.
b. Bahasa, adat-istiadat dan lembaga-lembaga.
c. Alat-alat dan artifak-artifak lainnya.
2. Catatan-catatan (rocords) – (pelantar fakta yang direncanakan)
a. Tertulis
• Kronik, annal, biografi, genealogi.
• Memoir, catatan harian.
• Sejumlah inskripsi tertentu
b. Lisan
• Balada, anekdot, cerita, saga.
• Fonograf dan tape recording
c. Karya seni
• Potret, lukisan-lukisan sejarah, patung, mata uang, dan medali.
• Sejumlah film tertentu, kineskop, dll.
- Sumber lisan
Ada dua kategori untuk simber lisan:
a. Sejarah lisan (oral history), ingatan lisan (oral reminiscence) yaitu ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang diwawacara oleh sejarwan.
b. Tradisi lisan (oral tardition) yaitu narasi dan deskripsi dario orang-orang dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut selama beberapa generasi.

2. Kritik: eksternal dan internal
- Kritik eksternal: Otentitas dan integritas
Sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya, kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu, maka terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaaan yang ketat.
Sebelum sumber-sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, paling tidak ada sejumlah lima pertanyaan harus dijawab dengan memuaskan (Lucey, 1984).
1. Siapakah yang mengatakan itu?
2. Apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah diubah?
3. Apa sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya itu?
4. Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi-mata (witness) yang kompeten – apakah ia mengeatahui fakta itu?
5. Apakah saksi itu mengatakan yang sebenarnya (truth) dan memberikan kepada kita fakta yang diketahui itu?
- Kritik intetrnal
Kebalikan dari kritik eksternal, kritik internal sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya menekankan aspek “dalam” yaitu “isi” dari sumber: kesaksian (testimoni). Setelah fakta kesaksian (fact of testimoni) ditegakkan melalui kritik eksternal, tiba giliran sejarawan untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian itu. Ia harus memutuskan apakah kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau tidak. Keputusan ini didasarkan atas penemuan dua penyidikan (inkuiri):
1. Arti sebenarnya dari kesaksian itu harus dipahami. Sejarawan harus menetapkan arti sebenarnya (real sense) dari kesaksian itu: apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh saksi atau penulis. Karena bahasa tidak statis dan selalu berubah, kata memiliki dua pengertian yaitu arti harfiah dan arti sesungguhnya.
2. Setelah fakta kesaksian dibuktian dan setelah arti sebenarnya dari isinya telah dibuat sejelas mungkin, selanjutnya kredibilitas saksi harus ditegakkan. Saksi atau penulis harus jelas menunjukan kompetensi dan verasitas (kebenaran). Sejarawan harus yakin bahwa saksi mempunyai kemampuan (kapasitas) mental dan kesempatan untuk mengamati dan saksi menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan suatu pengertian yang benar mengenai kejadian itu.
3. Penulisan sejarah: Historiografi, penafsiran, penjelasan, penyajian.
Langkah selanjutnya yaitu: (1) penafsiran dan pengelompokan fakta-fakta dalam berbagai hubungan mereka yang dalam bahasa Jerman Auffassung dan (2) formulasi dan presentasi hasil-hasilnya yang dalam bahasa Jerman disebut Darstellung. Langkah ketiga ini merupakan gabungan kedua proses ini menurut Langlois dan Seignobos ini menggambarkan “operasi-operasi sintesis” yang menuntun dari kritik dokumen-dokumen kepada penulisan teks yang sesungguhnya sehingga pada akhirnya menghasilkan karya historigrafi (Carrard, 1992; Cf. Gee, 1950). Tahap-tahap penulisan mencakup interpretasi sejarah, eksplanasi sejarah sampai kepada presentasi atau pemaparan sejarah sebenarnya bukan merupakan kegiatan terpisah melainkan bersamaan. Hanya untuk kepentingan analisis di sini dipisahkan agar lebih mudah dipahami.

Sumber: Helius Sjamsuddin. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Hlm. 85 – 240.

MASUKNYA AGAMA ISLAM DI KERJAAN MEKONGGA

Pada masa pemerintahan Bokeo Teporambe agama Islam mulai masuk di Kerajaan Mekongga yang dibawa oleh para pedagang dari Sulawesi Selatan. Selain itu ada juga utusan khusus dari Kerjaan Luwu yang datang membawa Islam, diperkirakan pada masa pemerintahan Datu Pati Arase di kerajaan Luwu yang digelar Petta Latinroe di Pattinrang sekitar abad ke-XVI.
Meskipun agama islam sudah masuk, tetap sampai Bokeo Teporambe meninggal dunia tidak masuk islam, sebagaimana dikemukakan beberapa sumber. Bokeo Teporambe kawin dengan Weheuka sehingga lahirlah Ponggokori, setelah ayahnya meninggal, maka nama anaknya diganti menjadi Lelemala. Setelah ayahnya Buburanda meninggal maka Lelemala menggantikan ayahnya menjadi Bokeo di Kerajaan Mekongga. Sekitar akhir abad ke XVI Lelemala memeluk agama islam yang dibawa oleh utusan dari sultan buton yang bernama La Embo.
Pada saat Lelemala memeluk islam beliau mengganti namanya menjadi Laduma, yang mempunyai arti La berarti laki-laki sedangkan Duma berarti Jum’at, dengan arti seorang laki-laki memeluk agama islam pada hari jum’at. Setelah Laduma meninggal dia diberi gelar Sangia Nibandera.
Pada masa pemerintahan Bokeo Laduma wilayah kekuasaan kerajaan mekongga semakin luas, sebab penduduk mekongga semakin banyak sehingga semakin banyak yang mendiami wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan mekongga semakin luas ditambah dengan wilayah pemberian neneknya yakni tanah disebelah barat yang berbatasan dengan Teluk Bone dimulai dari Pasikala sampai Lapawawu/Tamboli.
Di masa pemerintahan Mekongga, agama islam sudah mulai berkembang dengan pesatnya, dimana beliau menerima utusan dari datu luwu yaitu opu daeng masaro yang datang ke mekongga dalam rangka mengajarkan dasar-dasar dan pandangan islam sekaligus mengislamkan Bokeo Laduma oleh Datu luwu. Setelah lama memeluk agama islam kerajaan mekongga semakin makmur sehingga mengherankan kalau pada saat beliau memerintah kerajaan mekongga mencapai puncak kejayaannya.
Bokeo Laduma berusaha menyebarkan islam ke seluruh pelosok kerajaan. Disamping itu beliau juga mendatangkan guru-guru agama dari kerajaan Luwu, bahkan diantara mereka banyak yang menikah dengan putri atau kerajaan sehingga semakin eratlah hubungan kedua kerajaan tersebut. Sehingga pada akhir abad ke-17 seluruh rakyat mekongga dinyatakan telah memeluk agama islam.
Disamping itu hubungan kerajaan mekongga dengan kerajaan-kerajaan tetangga semakin dipererat khususnya dengan kerajaan luwu. Hal ini terjadi ketika kerajaan mekongga membantu kerajaan luwu dalam perang melawan kerjaan soppeng. Dikisahkan bahwa pada waktu itu luwu tidak dapat mengalahkan soppeng sebaliknya soppeng hampir mengalahkan luwu. Disaat kebingungan datu luwu teringat akan kesaktian yang dimiliki Laduma. Datu Luwu lalu memohon kepada Mincarangapa dan mengundang Laduma untuk datang ke Luwu dalam rangka membantu luwu perang melawan soppeng. “atas bantuan kerajaan mekongga maka kerajaan luwu dapat memenangkan peperangan tersebut yang diperkirakan terjadi pada tahun 1679, dikala Lelemala (Laduma) berusia 59 tahun atau tepatnya 9 tahun beliau memerintah, dan sebagai tanda terima kasih serta penghargaannya kepada raja Laduma dan segenap rakyat mekongga maka datu luwu (datu alimuddin kemudian menyerahkan sebuah bendera Merah Putih Bertuliskan huruf-huruf al-qur’an, gambar bintang dan benda tajam (Munaser, 1994).
Setelah beliau kembali di mekongga maka diadakanlah doa syukuran dengan mengundang segenap rakyat dan aparat pemerintah, maka dikukuhkanlah Bokeo Laduma dengan gelar “Sangia Nibandera” yang berarti dewa yang diberi bendera dan bendera pembawa kemenangan. Dengan demikian semakin eratlah hubungan antara dua kerajaan sehingga seringkali orang mekongga mengucapkan bahwa Susano O luwu susano mekongga, artinya susahnya Luwu, maka susahnyajuga mekongga.
Guna menyebarkan agama islam, maka Bokeo Laduma mendatangkan guru-guru agama islam dari luwu, bone, gowa dan buton. Disamping ada juga banyak pedagang-pedagang dari keempat kerajaan tetangga yang keluar masuk kerajaan mekongga untuk berdagang sambil menyabarkan agama islam khususnya di daerah-daerah pesisir pantai.
Pengiriman guru-guru agama terus berlanjut. Meskipun Laduma sudah meninggal namun pengiriman guru-guru agama tetap berlanjut. Diantara guru agama tersebut ada yang kawin dengan keluarga raja-raja di mekongga diantaranya Opu Daeng Mapuji atau Opu Palinrungan. Matano Opu Daeng mapuji mempersunting putri Bokeo Robe yang bernama Wedasa.

Sumber:
Aswati. 2010. Sejarah Lokal Sultra (daerah Kendari dan Kolaka). Hand Out Prodi sejarah FKIP Unhalu Kendari.

Makna Simbolik Pakaian Adat Tolaki

Ungkapan berikut ini merupakan adab-adab dalam berpakaian yang menunjukan nilai etika dan estetika pada masyarakat suku Tolaki.

“padopo ano moroa ronga ano tetutuwi kohanu meamboito pakea i laika”
Artinya: “asalkan bersih dan menutupi alat kemaluan, padanlah untuk pakaian dirumah”. Contohnya tampak pada gambar 9, seorang Puutobu (kepala adat) dalam rumah.

Selanjutnya:

”keno leu totokoma pelilito”
Artinya: “bila ada tamu datang, wajarlah bersalin (berganti) pakaian. Disini menunjukan sifat kesederhanaan manun sopan santung sangat ditonjolkan.

Berbagai bentuk dan warna serta letak pemakaian pakaian, perhiasan serta kelengkapan itu mempunyai makna simbolik menurut pandangan masyarakat suku Tolaki. Dari bentuk dan jenis pakaian dapat memberikan pertanda terhadap ciri dan identitas suku bangsa. Pakaian adat suku Tolaki agak lebih condong menyerupai bentuk-bentuk pakaian orang Melayu. Hanya nampak kesederhanaannya, terutama pemakaian sarung berlapis-lapis pada kaum wanita tidak terdapat pada mereka. Menilik warna pakaian dizaman lampau, ternyata bahwa pakaian berwarna putih adalah untuk orang kebanyakan.

Pakaian berwarna hitam pada umumnya dipakai oleh pengurus adat. Sedangkan golongan penguasa dan bangsawan memakai warna merah, coklat atau biru. Namun dewasa ini ketentuan seperti itu tidak berlaku secara mutlak lagi. Menurut pandangan masyarakat tolaki dahulu kala bahwa warna putih melambangkan keluhuran dan kesucian hati mengabdi bagi kepentingan pemerintah yang memimpin masyarakat.

Warna hitam melambangkan kematangan dan kemampuan membina dan mengembangkan peradatan. Sedangkan warna merah melambangkan kecintaan pada masyarakat. Dengan hiasan-hiasan berwarna kuning mengartikan kemuliaan. Pada gambar 1, kelihatan seorang putri/gadis berpakaian berwarna coklat muda. Bahan baju dan bahan sarung adalah kain berwarna coklat muda. Bahan baju dan sarung adalah kain semacam. Dari bentuk lubanng leher dan lengan baju yang panjang melambangkan bahwa pemakaiannya mengutamakan harga diri dan mampu mengendalikan dirinya.

Pada gambar 2, tampak seorang ibu berbaju biru tua dan memakai sarung hitam dengan motif-motif garis-garis lurus warna kuning. Dari warna pakaiannya memberikan arti lambanng bahwa dia adalah seorang ibu rumah tangga yang penuh kematangan dan kasih sayang didalam fungsi dan tanggung jawabnya.

Pada gambar 3 dan 4 adalah para tolea atau juru bicara adat dalam upacara perkawinan. Dari bajunya berwarna hitam menunjukan kematangan dan keakhlian mereka dalam tugas yang diembannya. Dari bentuk destar yang tegak di atas kepala melambangkan rasa tanggung jawab yang tinggi atas pengabdiannya. Pada gambar...seorang panitia pesta perkawinan, pakaian seperti itu juga dipakai pada acara-acara keagamaan. Yang menonjol dari pakaian dari pakaian tersebut hanyalah kopiah kuning bercorak biru dan merah. Kopiah semacam itu menunjukan ciri khas sebagai orang tolaki yang memegang suatu peranan penting kemasyarakatan. Pada gambar 5 seorang kepala pemerintah tingkat desa dalam saat menanti kedatangan tamu resmi desanya. Dari busana yang berwarna coklat dihiasi dengan renda-renda kuning melambangkan kekuasaan dalam jabatannya disertai kemuliaan atau kewibawaaan.

Demikian pula destarnya yang tegak tinggi mengandung arti rasa tanggung jawab atas jabatannya 6 selanjutnya pada gambar 7 tampak isteri kepala desa dalam seragam adat berwarna merah, dari warna busana yang dipakainya melambangkan bukan saja rasa keberanian tetapi juga menunjukan bahwa ia dari golongan penguasa atau bangsawan.

Seperti halnya pada gambar 8, dalam suatu pesta perkawinan, gadis-gadis tolaki hadir dengan berbaju merah dan sarung hitam bermotif garis lurus berwarna kuning. Mereka itu adalah gadis-gadis dari keluarga bangsawan. Hiasan-hiasan yang dipakai misalnya gelang tangan, medalion, ikat pinganng dan anting-anting menunjukan tingkat kehidupan sosial mereka.


Sumber bacaan:
Husein A. Chalik, dkk. (1991/1992). Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Mananamkan nilai-nilai Budaya Provinsi Sulawesi Tenggara-Edisi II. Kendari: Bagian Proyek Inventarisasi dan Pemebinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Tenggara

MASUKNYA ISLAM DI KERAJAAN KONAWE

Masuk dan berkembangnya agama islam di kerjaan konawe merupakan bagian dari proses perkembangan agama islam di sulawesi tenggara (sultra) khususnya dan indonesia pada umumnya.

Masuknya agama islam di kerjaan konawe pada akhir abad ke-16 yaitu kurang lebih 16 tahun setelah kesultanan Buton menerima Islam. Islam masuk dikerjaan konawe secara tidak resmi pada masa pemerintahan Tebawo (sangia inato) khususnya di daerah-daerah pesisir pantai yang langsung berhubungan dengan pedagang-pedagang dari luar. Namun agama islam yang dibawa para pedagang belum dapat diterima masyarakat kerajaan konawe, sebab pada saat itu masyarakat masih menganut animisme dan dinamisme.

Pada masa pemerintahan Mokole Lakidende sekitar abad ke-18 agama islam mulai diterima oleh masyarakat kerjaan konawe. Pada masa pemerintahan ayahnya Maago Lakidende sudah belajar agama islam dipulau Wawonii, bahkan ketika beliau diangkat menjadi raja di konawe beliau tidak berada di tempat, tetap sementara di pulau wawonii. Dan dilanjutkan dengan memperdalam seni baca Al-Qur’an di Tinanggea. Lakidende kemudian menikah dengan Wemanipa (waalumina) putri dari Imbatosa di Ngapaaha (Dokumenta, 1977). Dari Tinanggea kemudian beliau kembali ke unaaha untuk menerima jabatan yang telah disepakati oleh dewan kerjaan dan mengangkat Latalambe sebagai perdana menterinya.

Penobatan Lakidende sebagai Mokole di Konawe mempengaruhi perkembagan agama islamdi kerjaan konawe. Mokole sangat mencintai agama islam dan sangat patuh menjalankan syariat islam dan dalam kedudukannya sebagai mokole sangat mendukung usaha penyebaran islam dikalangan rakyatnya.

Seperti diketahui bahwa islam tidak memaksakan kepada siapapun untuk memeluk agama tersebut, makan dalam proses masuknya islam di indonesia umumnya dan kerajaan konawe khususnya tidak menimbulkan pertentangan dikalangan masyarakat meskipun masyarakat indonesia telah memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme. Dengan demikian islam masuk secara damai, jadi masyarakat tidak marasa dipaksa dan lama kelamaan kebudayaan islam sedikit demi sedikit masuk dalam pola kehidupan masyarakat. Disamping itu didukung adanya toleransi dari para penyiar islam tersebut.
Pusat-pusat perkembangan islam di indonesia pada awalnya melalui pusat-pusat perdagangan, karena yang pertama kali mengadakan kontak dengan para pedagang islam adalah masyarakat yang berada dipesisir pantai. Hal ini dikarenakan alat transportasi laut dapat menghubungkan antara dua wilayah adalah melalui laut sehingga pada awal perkembangan islam daerah pesisirlah yang menjadi pusat penyebaran islam. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya kerajaan-kerajaan islam di pesisir pantai.
Pusat-pusat penyiaran islam di kerjaan konawe dimulai di pesisir pantai antara lain pantai tinanggea, kolono, torobulu, ngapaaha, lasolo, dan muara sampara. Setelah itu barulah islam masuk di daerah-daerah pedalaman termasuk di pusat kerajaan konawe di unaaha.

Sebagaimana diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mokole Lakidende pedagang-pedagang dari bugis dan buton semakin ramai mengunjungi kerajaan konawe. Disamping itu berdagang mereka juga rajin menyiarkan agama islam sehingga masyarakat semakin giat belajar Al-Qur’an.



Sumber:
Aswati. 2010. Sejarah Lokal Sultra (daerah Kendari dan Kolaka). Hand Out Prodi sejarah FKIP Unhalu Kendari. Hlm. 20-21.

Kerajaan Mekongga

Latar belakang berdirinya kerajaan mekongga di daratan sulawesi tenggara ada suatu tradisi atau cerita rakyat yang pernah berkembang di daerah kolaka yang pada saat sebelum berdirinya kerajaan mekongga disebut wonua sorume (negeri anggrek), karena wilayahnya banyak ditumbuhi bermacam-macam anggrek pada zaman itu. Di mana anggrek (sorume) sangat dibutuhkan oleh masyarakat mekongga, sehingga daerah ini disebut wonua sorume (negeri anggrek). Wonua sorume merupakan daerah yang sangat subur, sehingga itulaj sebabnya pada saat penduduk pertama tiba di daerah ini yang berasal dari utara yaitu daerah pedalaman sekitar danai matano dan mahalona melalui daerah mori dan bungku kemudian bergerak ke bagian selatan danau towuti terus menuju ke arah selatan dan akhirnya bermukim di hulu sungai konaweeha.

Disana mereka bermukim untuk sementara waktu dan tempat bermukim mereka itu disebut andolaki yang artinya tempat tinggal orang/suku tolaki. Dari tempat itulah mereka terbagi dua serombongan kemudian melanjutkan perjalanan mengikuti sungai besar yaitu sungai konaweeha sambil mendesak penduduk asli yaitu orang-orang moronene, rombongan inilah yang dikenal sebagai suku tolaki konawe atau to konawe. Kemudian serombongan lagi mengikuti lereng pegunungan mekongga, lalu membelok ke arah barat daya menyusuri sungai-sungai kecil hingga tibalah mereka di tempat yang bari mereka namakan wonua sorume, rombongan inilah yang dikenal sebagai suku tolaki mekongga atau to mekongga. Mereka lalu membentuk kelompok masyarakat dan menempati daerah ini. Namun oleh karena keturunan mereka makin lama makin banyak, maka mulailah mereka mencari daerah- daerah baru sebagai tempat permukimannya dan setelah menemukannya, mereka lalu mengolahnya untuk dijadikan daerah peladangan yang disebut mondau. Dan sistem kelompok usaha ladang ini merekan namakan metobu. Arti istilah metobu inilah lahir suatu komunitas kecil yang disebut tobu, yaitu wilayah pemukiman yang sama kedudukannya dengan kampung atau desa. Sehingga dari usaha perladangan inilah sehingga terbentuk beberapa tobu yang dipimpin oleh seorang Toono Motuo (orang tua) yang terdiri dari 7 wilayah toono motuo (Munaser, 1994 : 4), yaitu:

1. Toono motuo puuehu (wundulako)
2. Toono motuo tikonu
3. Toono motuo puundoho/baula
4. Toono motuo sabilambo
5. Toono motuo laloeha/lalombaa
6. Toono motuo poondui
7. Toono motuo lambo

Ketujuh tobu/toono motuo tersebut diatas adalah merupakan kampung atau tempat tinggal pertama kelompok masyarakat mekongga sebelum terbentuk menjadi sebuah kerajaan.

Dari tradisi yang berkembang pada masyarakat mekongga bahwa saat itu hiduplah seekor burung raksasa yang dinamakan KONGGAAHA. Istilah konggaha berarti elang besar (kongga). Konon cerintany burung elang tersebut besarnya tujuh kasi lipat kerbau putih (kerbau pute). Burung tersebut sangat buas, karena disamping memakan kewan seperti kerbau, juga memangsa manusia. Dari cerita inilah dinamakan kerjaan mekongga, karena daerah ini merupakan tempat terbunuhnya burung kongga tersebut. Mekongga mempunyai arti dalam bahasa tolaki, sbb:

- Kata ‘Me’ : berarti melakukan suatu kegiatan
- Sedangkan ‘Kongga’ : nama burung (elang)

Jadi mekongga berarti melakukan kegiatan membunuh burung elang/ kegiatan memburu elang besar (kongga owose). Bahkan sampai sekarang di daerah kecamatan Wundulako ada sebuah desa dan sungai diberi nama sungai Lamekongga. Semua pernghuni dari ketuju tobu/toonomotuo tersebut merasa terancam dan selalu dicekam rasa takut. Telah banyak cara yang dilakukan untuk membunuh burung kongga tersebut, namun selalu sia-sia.

Bersamaan dengan itu pada awal abad ke –X, disuatu bukit yang bernama bukit kolumba yang terletak di desa Balandete sekarang, telah turun seorang laki-laki dan perempuan kakak-beradik. Mereka mengendari sarung besar (toloa mbekadu) atau sawuuha yang turunnya bersamaan dengan berhembusnya angin yang sangat kuat. Mereka adalah larumpalangi dan wekoila yang kelak menjadi anakiano wonua (bangsawan yang memimpin negeri). Masyarakat tolaki percaya bahwa mereka berdua adalah merupakan titisan dewata yang agung, sehingga mereka dianggap sebagai dewa.

Kedatangan mereka berdua sangat cepat diketahui oleh para toonomotuo sehingga ketujuh pemimpin tobu tersebut bersepakan dan mengadakan musyawarah untuk menemui larumpalangi dan menceritakan tentang kebuasan burung elang besar (konggaaha) yang sangat meresahkan mereka selama puluhan tahun.

Permohonan ke tuhjuh toonomotuo tetrsebut diterima baik oleh larumpalangi dan dilaksanakan pembunuhan konggaaha, denga kesepakan bahwa:
1. Setiap masyarakat penghuni tobu menyadiakan bambu runcing (o sungga)
2. Disiapkan seorang manusia sebagai umpan
3. Sebuah pohon ditatah dahannya sebagai tempat larumpalangi berdiri
4. Disiapkan gong, lesung dan alat bunyi-bunyian lainnya yang akan dipukul untuk menarik perhatian burung konggaaha
5. Perempuan dan anak-anak mencari perlindungan sedangkan laki-laki dewasa harus siap dengan segala peralatan (Munaser, 1994:6).

Berkat strategi dan taktik yang dilakukan larumpalangi, maka burung konggaaha tersebut dapat dibunuh. Maka dengan terbunuhnya konggaja, maka bersepakatlah ketujuh toonomotuo penghulu tobu untuk mengangkat larumpalangi menjadi pemimpin mereka dan selanjutnya dikukuhkan menjadi raja pertama di mekongga dan bergelar sangia larumpalangi. Dan ketujuh daerah toonomotuo tersebut kelak menjadi daerah istimewa dan mempunyai hak untuk turut serta dalam memusyawarakan pemilihan dan pelantikan raja. Sejak saat itulah terbentuknya suatu kerjaan di daratan sulawesi tenggara yang bernama wonua sorume yang kemudian menjadi kerjaan mekongga. Pemberian nama kerjaan mekongga adalah untuk mengingat suatu peristiwa yang sangat bersejarah pada masyarakat tolaki di kolaka.

Pada saat musyawarah untuk mengangkat larumpalangi sebagai raja di kerjaan mekongga dilakukan kesepakatan antara para toonomotuo dengan larumpalangi. Adapun kesepakatan tersebut adalah sbb:
1. Wilayah-wilayah yang terpisah-terpisah hendaklah menjadi satu kesatuan yang kokoh dan bulat.
2. Orang banyak hendaklah selalu bersatu dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpecah belah seperti sebelumnya.
3. Bahwa ia sebagai pemimpin orang banyak, iepo nomosele kaeno keno onggo mongga; arinya barulah tangannya basah kalau ia hendak makan, maksudnya bahwa urusan-urusan pemerintahan baru disodorkan kepadanya kalau telah dimatangkan oleh orang banyak, tugasnya bahwa segala sesuatu hendaklah atas kehendak orang banyak barulah ia akan melaksanakannya.
4. Pengangkatannya sebagai pemimpin adalah atas kehendak orang banyak, bukan karena kekerasan.

Bahwasannya persatuan orang banyak merupakan suatu kesatuan daerah (wonua) yang mempunyai wilayah tertentu yang diberi nama wonua atau lipu (mekongga) demi untuk memperingati peristiwa pembunuhan konggaowose (Dokumenta, 1967).
Dengan menggunakan nama mekongga sebagai nama negeri kekuasaannya, diharapkan kelak generasi berikutnya akan selalu mengingat bahwa daerah yang perna terpecah belah karena adanya wilayah yang dikuasai oleh para toono sudah bersatu menjadi satu kesatuan.

Walaupun larumpalangi keturunan to manurung, namun beliau telah membawa rakyatnya hidup aman dan makmur selama beberapa waktu lamanya, yang kemudian digantikan oleh tomanuru-tomauru lainnya. Berapa lama mereka memerintah tidak diketahui dengan pasti sebab tidak ada data maupun petunjuk sebagai bukti.
Oleh karena kerajaan mekongga terletak dipedalaman jauh dari pesisir pantai, maka masyarakatnya menggantungkan hidupya dari pertanian dengan cara Mondaui. Hal ini disadari oleh larumpalangi sehingga disuruhlah saudaranya yang bernama Wasasi Wasabenggali dari kerjaan Luwu untuk mengajarkan cara-cara bertani yang baik guna memperoleh hasil yang banyak demi kemakmuran rakyatnya.

Pusat pemerintahan kerjaan mekongga pada mulanya berpusat di Kolumba, Ulu Balandete kurang lebih 6 Km dari kolaka sekarang. Pusat kerjaan kemudian berpindah ke Puehu yakni daerah Wundulako sekarang.

Pada postingan selanjutnya akan dibahas lagi mengenai struktur pemerintahan dan perkembangan kerajaan mekongga sampai tenggelamnya...

Sumber:
Aswati. 2010. Sejarah Lokal Sultra (daerah kendari dan kolaka). Hand out Prodi Sejarah FKIP Unhalu Kendari.

Kerajaan Konawe


Berdasarkan sumber yang diperoleh dan juga tradisi yangberkembang bahwa awal mula berdiriny kerajaan Konawe dimulai dengan munculnya Sangia Ndudu  yang disebut Tolahianga (Orang dari Langit). Pada saat itulah telah berkembang tiga kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang mokole atau Raja yang masing-masing memimpin wilayah kekuasaannya. Adpun wilayah yang dimaksud adalah :
a.      Wilayah Padangguni yang dipimpin seorang mokole yang bergelar Ndotongano wonua ibukota pemerintahannya berada di Unaaha.
b.      Wilayah Besulutu ibukota pemerintahannya berkedudukan di Opuoh sekitar Desa Wawolemo Kecamatan Pondidaha sekarang.
c.       Wilayah Wawolesea ibukota pemerintahannya disekitar pantai Wawolesea Kecamatan Lasolo sekarang.

Pada saat ketiga kerajaan kecil berdiri, masing-masing kelompok keluarganya mengembangkan keturunannya. Lama kelamaan perkembangannya ini semakin meluas dan akhirnya menimbulkan pesekutuan hidup. Dimana satu an lainnya mencai tempat-tempat yang cocok untuk berlindung dan melakukan kegiatan ekonominya guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kelak kemudian dari perkembangan ketiga kelompok tersebut diatas muncul keturunan dari Mokole Padangguni yang diberi gelar Ndotongano Wonua (penguasa negeri) berusaha untuk mempersatukan ketiga wilayah ini. Namun usahanya itu ditentang oleh Mokole Wawolesea dan Mokole Besulutu. Akhirnya timbullah pertentangan yang hebat dan berlangsung lama. Mokole yang satu dan lainnya berusaha menaklukn Mokole lainnya. Sehingga terjadilah perang saudara. Bunuh membunuh pun tak dapat dielakkan, sebab pada saat itu berlaku hukum rimbah, siapa yang kuat dialah yang menang. Disini yang kuat menghancurkan yang lemah.
Pada saat perang saudara berlangsung muncullah seorang putri(yang kelak diketahui bernama Wekoila) ditengah-tengah masyarakat Konawe untuk memberikan kedamaian dan berniat mempersatukan penduduk dan masyarakat yang kacau balau akibat perang. Kidatangan putri Wekoila berhasil mewujudkan kedamaian dan kesatuan dan menimbulkan pengakuan yang spontan penduduk dari ketiga wilayah tersebut diatas. Kehadiran Wekoila disebut oleh segenap rakyat sebagai Ratu Adil dalam menyelamatkan mereka dari kehancuran. Keistimewaan yang dimiliki Wekoila adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh para Mokole yang sedang berkuasa pada ketiga wilayah kerajaan tersebut. Oleh sebab itu mereka sepakat untuk mengangkat Wekoila sebagai Mokole yang berkuasa atas ketiga wilayah kecil, dan akhirnya dapat mempersatukan ketiga wilayah menjadi satu wilayah kerajaan besar yakni Kerajaan Konawe dengan Rajanya yang pertama Wekoila denga pusat pemerintahannya di Unaaha.
Tentang asal-usul Wekoila ada beberapa persi yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di Kabupaten Kendari antara lain : Menurut Abdurrauf Tarimana bahwa “ Manurut tradisi orang tolaki pada saat itu tibalah di Unaaha seorang putri kerajaan Luwu yang bernama Wetenri Abeng saudara kembar Saweri Gading, dan orang-orang tolaki memberi nama Wekoila. Kemudian diangkat menjadi Mokole More pertama (Sri Ratu Konawe) pada abad ke-X. Sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa “ Wekoila dalaha saudara kembar Saweri Gading dari kerajaan Luwu, nama aslinya adalah Wetenri Abeng.beliau diperistrikan Ndotongano Wonua yang bernama Ramandalangi. Atas perkawinannya inilah sehingga Wekoila disepakati untuk diangkat menjadi Mokole dikerajaan Konawe”. (Johan Mekuo.2002).
Dengan naiknya Wekoila menjadi Raja dan berhasil mempersatukan ketiga kerajaan kecil sebelumnya menjadi satu yakni Kerajaan Konawe maka ini merupakan awal dari sejarah berdirinya Kerajaan Konawe.

Sumber:
Aswati. 2010. Sejarah Lokal Sultra (daerah kendari dan kolaka). Hand out Prodi Sejarah FKIP Unhalu Kendari.